Potensi Pengembangan Produksi Beras Nasional Melalui System Rice Intensification (SRI) Dalam Rangka Mengurangi Kerusakan Lahan dan Lingkungan

Rabu, 07 Oktober 2009

Sistem pertanian secara konvensional dewasa ini telah mengalami banyak perubahan. Pada awal digalakannya revolusi hijau, pertanian secara konvensional menjadi metode yang paling utama dalam produksi padi. Produksi padi secara konvensional menjadi salah satu aspek yang tidak mungkin dapat tergantikan. Semua kebutuhan pangan terutama padi sangat bertumpu pada sistem produksi secara konvensional ini.
Namun, akibat yang ditimbulkan dari pertanian konvensional tidak dapat terelakan lagi. Akibat penggunaan pupuk dan pestisida kimia mengakibatkan penurunan kesuburan tanah dan kerusakan lingkungan. Bahkan penggunaan pestisida kimia meninggalkan residu pada hasil tanaman. Menurut  data WHO, setidaknya 20.000 orang di muka Bumi meninggal lantaran keracunan pestisida. 5.000 hingga 10.000 insan menderita anomali dan sakit lantaran paparan pestisida semisal beragam kanker, cacat lahir, infertil, termasuk kerusakan organ hati, dan lain-lain.
Dalam rangka mengurangi dampak yang ditimbulkan dari pertanian konvensional, akhir-akhir ini telah banyak dikembangkan metode pertanian organik. Pertanian organik ternyata telah banyak mengurangi kerusakan lingkungan akibat pencemaran pupuk dan pestisida kimia yang digunakan dalam pertanian konvensional. Tidak sampai disitu saja ternyata beberapa daerah yang telah menerapkan pertanian organik memiliki daya hasil padi yang dapat menandingi hasil potensi hasil dari pertanian secara konvensional.
Pengembangan budidaya padi dengan teknologi Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik atau IPAT-BO pada tahap uji coba di Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, telah menghasilkan 10,4 ton padi per hektar.
Bahkan dari beberapa informasi yang di dapat bahwa Provinsi Jawa Barat berpotensi mengekspor 2,3 juta ton beras organik pada tahun 2013 jika seluruh lahan padi dikonversi dari sistem anorganik menjadi organik. Selain produktivitas lahan meningkat, penanaman padi secara organik akan menaikkan kadar rendemen gabah ke beras dari 65 persen jadi 75 persen.
Beberapa pejabat penting telah banyak mendukung sistem penanaman secara organik. Panen perdana padi organik dengan menggunakan pupuk organik produksi PT Pupuk Kujang di Dusun Tegalmekar, Desa Rawamekar, Kec Blanakan, Subang pada tanggal 12 April 2009 dihadiri oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Direktur Teknik dan Pengembangan PT Pupuk Kujang Muhammad Husein, Direktur Utama PT Sang Hyang Seri Edi Budiono, Direktur Utama Perum Bulog Mustafa Abu Bakar, Wakil Bupati Subang Ojang Sohandi, Wakil Bupati Tangerang Rano Karno, Ketua Umum Dekopin Adi Sasono, serta undangan lainnya. Panen tersebut dilakukan dengan menggunakan benih padi unggulan PT Sang Hyang Seri serta penggunaan pupuk organik produksi PT Pupuk Kujang.
SRI (System of Rice Intensification) adalah cara budidaya padi yang pada awalnya diteliti dan dikembangkan sejak 20 tahun yang lalu di Pulau Madagaskar dimana kondisi  dan keadaannya tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Karena kondisi lahan pertanian yang terus menurun kesuburannya, kelangkaan dan harga pupuk kimia yang terus melambung serta suplai air yang terus berkurang dari waktu ke waktu, maka dikembangkanlah metoda SRI untuk meningkatkan hasil produksi padi petani Madagaskar pada saat itu,  dengan hasil yang sangat mengagumkan. Saat ini SRI telah berkembang di banyak negara penghasil beras seperti di Thailand, Philipina, India, China, Kamboja, Laos, Srilanka, Peru, Cuba, Brazil, Vietnam dan banyak negara maju lainnya. Melalui presentasinya Prof. Norman Uphoff dari universitas Cornell, USA, pada tahun 1997 di Bogor, SRI diperkenalkan di Indonesia. Dan sejak tahun 2003 penerapan dilapangan oleh para petani kita di Sukabumi, Garut, Sumedang, Tasikmalaya dan daerah lainnya memberikan lonjakan hasil panen yang luar biasa.
Cara budidaya SRI sebenarnya tidak asing bagi para petani kita, karena sebagian besar prosesnya sudah dipahami dan biasa dilakukan petani. Metoda SRI ini dinamakan bersawah organik dan menghasilkan padi/beras organik karena mulai dari pengolahan lahan, pemupukan hingga penanggulangan serangan hama sama-sekali tidak menggunakan bahan-bahan kimia. Metoda SRI seluruhnya menggunakan bahan organik disekitar kita (petani) yang ramah lingkungan, dan bersahabat dengan alam serta mahluk hidup di lingkungan persawahan. Dari hasil penelitian dan percobaan oleh para ahli selama bertahun-tahun di berbagai negara  menunjukan bahwa hasil yang diperoleh dengan metoda SRI sangat tinggi jika sepenuhnya tidak memakai bahan-bahan sintetis( kimia/anorganik) baik untuk pupuk maupun untuk pembasmi hama dan penyakit padi.
Prinsip dasar budidaya padi organik SRI terdiri dari beberapa kegiatan kunci dan prosesnya mutlak harus dilakukan agar hasil yang dicapai petani optimal.
a. Proses Pembibitan
b. Proses Pengolahan Lahan
c. Proses Penanaman Bibit Padi
d. Proses Pemeliharaan
e. Proses Pemupukan
f.  Proses Pengendalian Hama
(Sumber : Buku Petujuk SRI)
 Kita bisa menghemat triliunan rupiah, penghematan dilakukan dengan mengadopsi System of Rice Intensification (SRI). Andai 10% saja sawah di Indonesia menerapkan SRI, penghematan besar sebuah keniscayaan. Pemerintah memberikan subsidi Urea Rp400 per kg. Kebutuhan Urea per ha mencapai 250 kg. Jika dikalikan dengan 780.000 ha (10% dari total luas sawah yang mencapai 7,8-juta ha) maka penghematan subsidi mencapai Rp78.000.000.000. Selain itu petani yang menerapkan SRI meninggalkan Urea. Artinya penghematan mencapai Rp224.250.000.000 bila harga Urea Rp 1.150 per kg.
Sistem SRI juga hemat benih karena hanya menghabiskan 4-5 kg; sistem konvensional, 40 kg per ha. Itu berarti penghematan benih mencapai 35 kg per ha. Jika harga benih Rp4.000 per kg, penghematan mencapai Rp109.200.000.000. Sistem SRI ternyata juga menghemat pestisida hingga Rp117.000.000.000. Itu karena padi di lahan yang mengadopsi SRI relatif resistan terhadap serangan hama dan penyakit. Kebutuhan pestisida petani padi konvensional mencapai Rp150.000 per ha.
Penggunaan air pun hemat hingga 46%. Pada budidaya padi sistem konvensional, kebutuhan air mencapai 15.000 m3. Volume air yang dihemat mencapai 5.382-juta m3. Walau hemat di sana-sini, produksi padi sistem SRI rata-rata meningkat 4,6 ton per ha. Dengan demikian total penambahan produksi padi - jika 10% lahan sawah mengadopsi SRI sebanyak 262.000 ton. Jika 10% saja sawah di Indonesia 'menerapkan' sistem SRI, total jenderal penghematan mencapai Rp 528.450.000.000.
(Sumber : Majalah Trubus Edisi Juni 2009)
Guna menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan dalam bidang pertanian salah satunya adalah merubah sistem pertanian di Indonesia melalui metode SRI (System Rice Intensification). Metode ini telah terbukti memberikan banyak hal yang positif. Baik dilihat dari segi keramahan lingkungan maupun dilihat secara ekonomi. Berbagai keunggulan tersebut misalnya dengan metode SRI dapat menekan gas metan serta membangkitkan mikroba tanah. Sedangkan dari sisi ekonomi seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya dapat menghemat pengeluaran kas negara sebesar setengah trilliun.
Penerapan metode SRI pada petani sebenarnya tinggal bagaimana para petani menyikapi hal tersebut. Jika petani yakin untuk dapat menerapkan metode ini maka kemungkinan besar sistem produksi beras di Indonesia akan mengalami perubahan. Dengan adanya perubahan sistem produksi beras di Indonesia maka kerusakan lingkungan akibat penggunaan bahan kimia dalam bidang pertanian dapat ditanggulangi.



2 komentar:

biji tanaman hias mengatakan...

cepet2 diterapin aja,
kalua bisa hemat biaya smpai 1/2T kan bisa dialokasikan bwt yang lain...

Anonim mengatakan...

emang sistem budidaya padi metode sri telah terbukti dapat meningkatkan produksi padi yang dihasilkan...oleh karena itu ganti sistem lama terapin sri......

Posting Komentar